Blog Silsilah keluarga H. Syahri Baru Rambang adalah berisi silsilah keluarga H. Syahri yang berasal dari Desa Baru Rambang Kecamatan Rambang Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia.
Blog silsilah keluarga ini diperuntukkan khususnya agar seluruh keluarga mengetahui dan dapat mempererat tali silaturrahmi keluarga.
Blog ini akan selalu di Update pada saat ada keluarga yang belum terdaftar atau menikah dan melahirkan keturunan, untuk itu setiap keluarga yang mengetahui adanya keluarga yg menikah atau memperoleh keturunan yang belum terdaftar pada blog ini, diharapkan untuk menginformasikan kepada kami dan mengirimkan photo (upload) lengkap dengan keterangan nama nama orang yang ada di photo. Selanjutnya kami harapkan juga informasi mengenai baik suka maupun duka, lowongan pekerjaan, undangan perkawinan, sakit atau kematian, bisnis keluarga dll, yang nantinya akan kami muat pada Halaman Ruang Informasi, dengan menghubungi kami melalui :
1. Facebook : Silsilah Keluarga Syahri Klik disini
2. Email : sahrirambang@gmail.com.
3. Kolom Komentar dibawah kolom tulisan ini
1. Facebook : Silsilah Keluarga Syahri Klik disini
2. Email : sahrirambang@gmail.com.
3. Kolom Komentar dibawah kolom tulisan ini
Bagi pengunjung yang tidak termasuk dalah silsilah keluarga kami ucapkan terima kasih semoga blog ini bermanfaat bagi pengunjung, dan bagi pengunjung yang merupakan silsilah dari keluarga dimohon untuk bersilaturrahmi dengan keluarga yang belum pernah di temui.
Trimakasih semoga Allah selalu memberikan Rahmat dan hidayahnya pada keluarga besar kita
Wassalamualaikum, Wr. Wb.
Kiriman Hartonadi Hamawi :
- Contoh-contoh Budaya Lokal
Contoh Budaya local yang ada dalam Indonesia adalah
1. Slametan
1. Slametan
Seperti dikatakan oleh Simuh bahwa seluruh ritus dan meditasi religi animisme-dinamisme dimaksudkan untuk berhubungan dengan dan mempengaruhi ruh dan kekuatan gaib.1 Fenomena ini memiliki kemiripan dengan fenomena ritual dalam Agami Jawi, terutama Slametan. Slametan atau wilujengan merupakan suatu upacara terpenting dari semua ritus yang ada dalam sistem religi orang Jawa pada umumnya, dan penganut Agami Jawi khususnya.
Ritual slametan bisa dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu yang tidak bersifat keagamaan dan yang bersifat keagamaan.2 Slametan yang tidak bersifat keagamaan tidak menimbulkan getaran emosi pada orang yang mengadakannya. Biasanya jenis slametan ini lebih ditujukan untuk memelihara rasa solidaritas sosial dan menciptakan suasana damai atau sekedar sebagai sebuah perayaan biasa saja. Sementara itu ritual slametan yang bersifat keagamaan bersifat keramat. Slametan yang bersifat keramat bisa disaksikan dari rangkaian upacara slametan untuk upacara kematian yaitu pada hari ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus, dan ke seribu.
Ritual slametan ini memang berjenis-jenis, ada yang untuk upacara peringatan orang yang telah meninggal, bersih-dhusun, awal musim cocok tanam, upacara hari-hari besar Islam, ngruwat, kaul, pindah rumah, dan sebagainya. Ritual ini tidak ada di dalam Islam baku. Sinkretisasi terjadi ketika di dalam ritual slametan biasanya diisi dengan dzikir atau doa-doa yang disampaikan atau dipimpin oleh seorang modin atau kaum.
2. Nyadran
2. Nyadran
Ritual ini merupakan cara untuk mengagungkan, menghormati, dan memperingati roh leluhur yang dilaksanakan pada bulan Ruwah atau Sya’ban sesudah tanggal 15 hingga menjelang ibadah puasa di bukan Ramadhan. Dalam ritual Nyadran ada dua tahap yaitu tahap slametan dan tahap ziarah. Pada tahap slemetan biasanya orang membakar sesajen baik berupa kemenyan atau menyajikan kembang setaman. Setelah selesai orang melakukan sesajen baru orang melakukan tahap ke dua yaitu ziarah ke makam.3
Menghormati leluhur sebagai inti dari ritual nyadran, menurut Karkono Kamajaya, telah ada sebelum Islam datang ke Indonesia. Kebiasaan menghormati para arwah leluhur juga merupakan tradisi yang ada pada suku-suku lain di luar Jawa. Modus mereka untuk menghormati ini juga beragam. Dalam tradisi Jawa kebiasaan ini telah disebutkan dalam kitab Negarakertagama karangan Mpu Prapanca, yaitu perayaan sradda untuk memperingati Tribuwana atau Rajapatni, yang dipimpin para bikshu budha.4 Dengan demikian ada kemungkinan bahwa kata nyadran berasal dari kata sradda. Waktu upacara sradda adalah dimulai bulan Srawana (Juli-Agustus) dan bulan Bhadrawada (Agustus-September).
Pada waktu nyadran makam-makam biasanya dibersihkan dan ditaburi bunga-bunga, yang disusul dengan pembacaan doa sambil membakar dupa. Bila dalam tradisi Jawa Kuno upacara sradda dipimpin para bikhsu, maka dalam ritual nyadran biasanya dipimpin seorang modin atau kaum. Dan waktu pelaksanaan mengalami pergeseran, yaitu pada bulan Ruwah atau Sya’ban.
3. Tirakat
3. Tirakat
Salah satu ritual yang begitu popular di kalangan orang Jawa adalah Tirakat. Tirakat adalah berpuasa pada hari-hari tertentu dengan cara-cara tertentu. Karena dekat dengan ritual puasa dalam ibadah Islam baku, maka orang Agami Jawi biasanya juga melaksanakan puasa, walaupun tidak melaksanakan syariat yang lain secara rutin. Inti dari ritual tirakat adalah latihan untuk menjalani kesukaran-kesukaran hidup untuk mendapatkan keteguhan iman. Jadi tirakat merupakan ritual keagamaan yang disengaja agar seseorang menjalani kesukaran, kesulitan, dan kesengsaraan. Pemeluk Agami Jawi percaya bahwa ritual ini berpahala dan bermanfaat dalam melatih keteguhan pribadi.5
Tirakat ini memiliki berbagai jenis di antaranya mutih, siyam, nglowong, ngepel, ngebleng dan patigeni. Mutih berarti seseorang berpantang makan selain nasi putih saja pada hari Senin dan Kamis. Siyam artinya menjalani puasa pada bulan Ramadhan sebulan penuh. Nglowong artinya berpuasa selama beberapa hari menjelang hari-hari besar Islam. Ngepel artinya membiasakan makan dalam porsi sedikit, yaitu tidak lebih dari satu genggam tangan selama satu atau dua hari. Ngebleng berarti berpuasa dan menyenderi dalam ruangan tertentu dengan tidak makan atau minum selama tenggang waktu tertentu, seperti 40 hari. Sedangkan patigeni berarti berpuasa di dalam suatu ruangan yang gelap pekat yang tak dapat ditembus cahaya.6
Jenis ritual ini sangat dekat dengan praktik-praktik yoga dalam Hindu. Praktik yoga ditengarai sebagai benih bagi kemunculan praktik-praktik tapa-brata dan semedi. Tapa brata, seperti disebut di atas merupakan bentuk pendisiplinan diri secara keras dengan berbagai bentuk kegiatan yang sulit seperti puasa, sedangkan semedi merupakan cara pemusatan konsentrasi pada kekuatan adi-kodrati untuk mencapai penyatuan. Pada intinya, tirakat merupakan latihan laku prihatin bagi seseorang untuk terbiasa menghadapi kesukaran-kesukaran hidup. Dengan laku prihatin ini, seseorang berharap semakin dekat pada Tuhan.
Tradisi Nyadran atau Sadranan yang berarti membersihkan tempat makam sekaligus mengirim doa untuk leluhur setiap bulan Ruwah (Kalender Jawa) atau Syaban (Kalender Hijriyah), adalah sedikit dari budaya masyarakat Jawa yang masih berlangsung. Kata Ruwah sendiri memiliki akar kata “arwah”, atau roh para leluhur. Konon dari arti kata arwah itulah yang menjadikan bulan Ruwah sebagai bulan untuk mengenang sekaligus mendoakan para leluhur.
Di Kecamatan Cepogo tradisi Nyadran ini memang sedikit unik. Tidak hanya membersihkan makam dan mendoakan leluhur, dalam tradisi yang sudah berlangsung turun temurun ini warga juga saling bersilaturahmi. Bulan Ruwah bahkan dianggap sebagai salah satu hari besar bagi masyarakat Cepogo dan desa-desa sekitarnya di lereng Gunung Merbabu-Merapi. Sebab justru saat ruwahan itulah sebagian besar warga Cepogo yang berada di rantau untuk mudik. Maka tak mengherankan jika nyadran di kawasan Cepogo akan terasa lebih sakral dan meriah dibandingkan Hari Raya Idul Fitri.
Warga saling berkunjung tanpa membedakan status dan jabatan. Dalam sepekan, di sela-sela bersilaturahmi, masyarakat melaksanakan ziarah ke makam leluhur. Puncak dari sadranan dilakukan dua hari menjelang bulan puasa, setelah malam sebelumnya warga menggelar tahlilan.
4. Tradisi Padusan
Seusai tradisi ziarah, sehari sebelum memasuki bulan puasa masyarakat melakukan ritual padusan. Di Desa Samiran, Selo, Boyolali, ritual nyadran merupakan puncak sekaligus penutup sadranan. Seperti dalam nyadran, warga menyiapkan aneka sesaji berupa nasi tumpeng dan hasil bumi. Aneka sesaji diarak menuju Sendang Kali Gono untuk dipersembahkan ke penguasa gaib yang bernama Mbah Gono. Sesaji padusan tak hanya berupa makanan, tetapi juga dalam bentuk atraksi Kesenian Kuda Kepang (Kuda Lumping). Warga meyakini Mbah Gono sebagai leluhur sekaligus pendiri desa, sangat menggemari kesenian kuda kepang. Sesampai di sendang juru kunci memimpin doa, sebelum akhirnya memercikkan air pertama sendang ke kepala dan tubuh warga paling muda. Selepas percikan pertama sang juru kunci, warga pun bergiliran menyusul mandi. Rangkaian ritual nyadran di lereng Gunung Merbabu dan Merapi, Boyolali, itu pun berakhir di Sendang Kali Gono. Tahun depan mereka akan kembali melakukan ritual yang sama. Warga tidak melupakan tradisi lama warisan leluhur, meski agama Islam telah memberikan nafas baru bagi mereka.
Di beberapa tempat, padusan memang masih menyimpan kesakralannya. Namun di sejumlah tempat lain, terutama di daerah perkotaan, ritual padusan menjadi komoditi pariwisata. Masyarakat lupa bahwa padusan bukan sekadar mandi dan keramas menjelang puasa. Namun lebih kepada pembersihan raga dan jiwa sehingga benar-benar bersih, suci dan siap untuk berpuasa. Tradisi padusan kini sudah kehilangan ruhnya. Apalagi belakangan ini ritual padusan mulai dijual demi kepentingan pariwisata. Bahkan banyak tempat-tempat padusan yang dilengkapi dengan panggung dangdut. Nilai sakral mulai ditinggalkan, tetapi lebih mengejar pada jumlah pengunjung. Semakin banyak orang datang, maka semakin banyak pula tiket yang terjual. Di kolam, pantai, atau wisata peariran lain, warga berbaur seperti tak bersekat. Mereka datang untuk sekadar mandi, berbasah-basah, sementara yang lain memanfaatkan untuk cuci mata.
Ritual padusan yang merupakan simbol pembersihan diri untuk menyambut Ramadhan telah dipahami dengan cara keliru, sehingga tak ada bedanya dengan mandi biasa. Tradisi padusan yang sesungguhnya merupakan tahap akhir dari prosesi pembersihan diri sebelum puasa, justru telah bergeser maknanya dan tidak lagi menjadi sesuatu yang bernilai sakral.
Junanto Herdiawan
saran dan masukan kami tunggu trimakasih
BalasHapusdari : kurnia pratama